Sabtu, 15 Juni 2013

Efek Camera Branding




Oleh : Rhenald Kasali

Guru Besar Fakultas Ekonomi UI

Padang Ekspres • Jumat, 14/06/2013

Rhenald Kasali

KALI pertama melihatnya, saya langsung jatuh hati. Dia seorang ibu yang lumpuh. Menurut reporter SCTV yang me­nurunkan laporan dalam Liputan 6, Een prak­tis hanya mam­pu meng­gerakkan mata dan mu­lutnya. Tetapi, selumpuh itu, dia tetap mengajar dari kamar ti­dur­nya. Anak-anak usia sekolah dasar silih ber­ganti ber­datangan. Bu­kan untuk merawatnya, me­lainkan belajar ma­cam-macam pengeta­hu­an. Ya bahasa Indonesia, geo­grafi, ilmu penge­ta­hu­an alam, dan matematika.

 

Di kamarnya ada pe­ta Indonesia yang ter­pampang di dinding. Dari situ, anak-anak belajar memahami Indonesia. Tetapi, sebelum belajar, Een selalu punya sesuatu untuk anak-anak. Entah itu rujak buah-buahan yang bisa mereka buat sendiri di dapur, entah masakan lainnya.

 

Itu  saja sudah mampu mem­buat anak-anak merasa berada di rumah sendiri. Padahal, Een tidak punya penghasilan apa-apa dan anak-anak itu tidak dipungut biaya belajar.



Gurunya mengajar sukarela dan anak-anaknya datang suka­rela. Tetapi aneh, keduanya bisa sama-sama hidup, sama-sama berprestasi. Sebab, Een tidak memerlukan apa-apa. Tidak perlu perhiasan, mobil, ponsel, apalagi kamera. Dia hanya butuh harapan, dan harapan itu ada pada anak-anak yang berhasil.

 

Masyarakat Merawat

 

Anda mungkin pernah men­dengar jokes tentang seorang ibu Yahudi di negeri Belanda yang memberikan petunjuk kepada anaknya yang akan datang ber­sama istrinya. “Cari apartemen 1308, tekan bel pakai sikutmu, gunakan sikutmu untuk tekan tombol ke lantai 8, lalu belok kanan, ketok pintu pakai sikut.”

 

Si anak mengerti petunjuk itu. Namun, dia balas bertanya, “Aku mengerti Ma, tetapi me­nga­pa Mama dari tadi bilang gu­nakan sikutmu?” “Apa?” ja­wab si ibu. “Jadi, kamu datang de­ngan tangan kosong?” ujarnya.

 

Joke itu biasa diucapkan orang-orang Indonesia di Eropa melihat hubungan keluarga yang telah berubah menjadi serba transaksional. Pantas bila orang­tua akhirnya hidup kesepian di panti-panti jompo tanpa ada keturunannya yang menengok.

 

Di Jepang, ikatan keluarga juga memudar karena orangtua  sibuk bekerja seharian agar bisa membayar sewa rumah dan segala utang. Akibatnya, pada hari tuanya, mereka kesepian. Anak-anak jalan sendiri-sendiri. Negara kaya tidak menjamin ikatan sosial dan kebahagiaan bisa sejalan. Saya sendiri berha­rap hubungan kekeluargaan yang hangat tidak sepenuhnya digantikan oleh mekanisme pasar, di sini.

 

Di sisi lain, dunia layar kaca, khususnya televisi, bisa punya peran penting untuk mem­bangun ikatan sosial di sini. Setelah bertahun-tahun habis digunakan untuk memamerkan aneka konflik, politik, dan korup­si, televisi ternyata dapat digu­nakan untuk merekatkan ikatan-ikatan sosial. Een bisa menjadi aktor perubahan dalam per­adaban kamera ini.

 

Setelah ditemukan reporter TV dan diberi Liputan 6 Award dua minggu lalu, Een mendapat efek camera branding. Dalam tim juri, kami mengusulkan Een mendapat penghargaan khusus. Sebab branding-nya ada dalam tiga kategori: pendidikan, ke­manusiaan, dan pengabdian masyarakat.

 

Apa yang dilakukan Een mem­buat semua penonton ter­ha­ru. Apalagi, award itu dise­rahkan Ketua Umum PMI Jusuf Kalla (JK). Di situ terdengar suaranya yang jernih. Dari pen­jurian itu, saya diberi tahu, Een mempunyai keinginan bertemu pre­siden. Saya lalu mengirim pesan melalui staf khusus pre­si­den Prof Firmanzah sekiranya pre­siden berkenan. Ternyata, se­kembali presiden dari Ame­rika, Een sudah diagendakan bertemu SBY di istana. Dia terlihat gembira.

 

Dia bahkan diajak presiden berkeliling istana. Karya Een sungguh menggugah hati. Dia adalah pejuang, a role model. Kemarin saya lihat di surat kabar, efek camera branding itu meluas. Een diberi award dari almamaternya: UPI, plus kecu­pan di kening dari musisi Bimbo serta beberapa lagu khusus dari musisi Ebiet G. Ade.

Salah satu videonya yang menggugah bisa kita lihat di link berikut ini.



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar